4.2.10

Etika Bederma


Bederma (infak atau sedekah) merupakan kewajiban agama dan sosial yang menjadi bukti validitas keimanan dan ketakwaan seseorang (QS Al-Baqarah [2]: 177). Sebagaimana jenis ibadah lainnya, agar dinilai sebagai sebuah kebajikan di sisi Allah, maka bederma haruslah memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT beserta Rasul-Nya. Ketentuan itu antara lain:

Pertama, niat ikhlas guna meraih ridha Allah. Niat ini ditandai dengan tidak mengharapkan balasan sekecil apa pun, walau sekadar ucapan terima kasih dari si penerima derma (QS Al-Insan [76]: 9). Amal perbuatan adalah bentuk lahiriah yang tampak, sedangkan ruhnya adalah ikhlah. Karenanya, beramal hendaknya tidak diikuti dengan ucapan seperti, ''saya sudah berjasa''.



Sesungguhnya si penerima derma pun punya jasa atas praktik saling memberi ini. Ketika seseorang menerima derma dari orang lain, pada hakikatnya ia telah membantu menyucikan harta si pemberi derma (QS Al-Layl [92]: 18). Dan itu menjadi penyebab semakin berlimpahnya harta dan berkurangnya dosa si pemberi karena curahan ampunan Allah SWT (QS At-Taghabun [64]: 17).

Kedua, bederma harus dibingkai dengan sikap penuh kerendahan hati dan kesantunan, bukan sikap yang sekiranya dapat melukai hati penerimanya (QS Al-Baqarah [2]: 264).

Ketiga, bederma bukan hanya pada saat lapang dan senang, namun juga pada waktu menderita kesusahan dan kesempitan. Inilah ihsan (QS Ali Imran [3]: 134), puncak kebajikan seorang hamba di hadapan Tuhannya.

Keempat, bederma harus dari harta yang halal, baik sumbernya maupun zatnya. Sebanyak apa pun harta yang didermakan, namun jika bersumber dari hasil korupsi, misalnya, tentu tidak akan dicatat sebagai kebajikan, bahkan justru direkam sebagai bentuk kemungkaran.

Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci, dan tidak menerima sedekah dari hasil korupsi,'' (HR At-Tirmidzi).

Kelima, bederma harus berasal dari harta yang berharga dan kita cintai (QS Ali Imran [3]: 92), bukan dari harta yang kita sendiri sudah segan untuk memilikinya, memakainya, atau mengonsumsinya (QS Al-Baqarah [2]: 267). Misalnya, bederma dengan makanan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Atau, mendermakan pakaian yang sudah tidak layak pakai, yang kita sendiri merasa tidak pantas untuk memakainya.

Oleh karena itu, adalah sikap yang arif jika kaum Muslim memuliakan dan menghormati orang yang berhak menerima derma, sebagaimana memuliakan diri sendiri. Dengan cara yang demikian itu, si penderma akan dimuliakan oleh Zat Yang Mahamulia dengan kemuliaan yang hakiki.

Sumber: KH Ade Muzaini Aziz



Artikel Terkait: