25.8.10

SHALAT BERJAMA’AH


ADAB IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya.
Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi
perhatian utamanya.

Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para
makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika
imam mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan
umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan
kalian"


Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang
mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas
unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara
mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan
mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain
disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang
shalat di belakangnya.

Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini,
tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua : Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi
dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan
pemiliknya –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang
awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah
saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang
sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun
dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari
penghasilan dari jalannya dan dari pintunya. Secara tidak langsung,
-para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya layak
menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di
sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid
tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam. Oleh
karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang
mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke
lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik,
atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi
saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan
anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara
yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”.

Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi
imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point
berikut ini.

Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau
Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus
menjadi penilaiannya ialah:

1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah,
jika tuan rumah layak menjadi imam.

2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka
tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga
orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan
imam rawatib.

3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih
fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia
mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang
diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai
membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih
mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang
lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih
dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang
menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat
lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali
seizinnya"

4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya.
Dalam sebuah hadits disebutkan

"Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal
dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang
membencinya"

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang
menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang
membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang
lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi
yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya".

Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini
-berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang
mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena
Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau
melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian
ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang
sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan
tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan
kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui,
bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab
agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya
lebih besar dari pahala melakukannya.

Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga,
maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh
kebanyakan kaum.”

Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang
Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih,
Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.

Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang
salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis
dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia
mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan
“Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi
‘menyetubuhi’nya  . Na`uzubillah.

Ketiga : Mentakhfif Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk
memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan
hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan
hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang
dianjurkan. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:

"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia)
mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya"


Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang
relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja
menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan
menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh
karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun
pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali kepada
mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada
keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.

Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam
bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau
meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi
panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat).
Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan
dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan
kalian"

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mewakilkan seseorang untuk
meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa
shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali
sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat
dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,”
kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut
tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud
berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami
menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.”
Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami
menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya.
Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan
keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas
Radhiyallahu 'anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan
kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal
Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari
mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.”

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah
tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu
'anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf
dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan
tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke
dalam larangan syari’at. Diantaranya;

1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan
perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu
'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak
kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut
untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan
menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah
akan memutus (urusan)nya.”

2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits
shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

"Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung
shaf"

Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm:

"Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah
mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati
kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar"

Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhu :

"Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan
jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka
laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin."

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah
ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para
ulama.

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat
merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa
yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat
puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat
tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu,
apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau
tahun.

Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’
Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.

Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam
menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka
dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan
sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah
memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun
mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam
mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan
diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki
shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu
menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik,
maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat
di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia
tidak menyempurnakan shalatnya.”

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan
sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk
itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum,
karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan
orang yang masuk tersebut.

Sumber simak Disini.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar