18.10.10

Hukum Waris Islam


“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Q. S. An-Nisa’: 7).

Agama Islam pada dasarnya dapat dibagi atas lima komponen. Yakni adalah Imaniyah (Tauhid, Aqidah), Ibadah, Muamalah, Muasyarah, dan Akhlaq. Bagi umat Islam, idealnya tentu mengamalkan semua bagian agama ini secara menyeluruh (kaffah) sesuai dengan tuntunan yang berasal dari sumber hukum Islam sendiri, yaitu Al Qur’an dan Hadis.

Untuk dapat mengamalkan semua bagian agama ini, harus dimulai dari pengetahuan tentang aturan-aturan (syariat) yang berlaku. Dalam bab imaniyah misalnya, sejak dini kita telah diajarkan oleh orang tua kita tentang Rukun Iman yang berisi enam hal pokok yang harus diimani oleh setiap muslim, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Qadar. Demikian pula, bab ibadah mengenal adanya Rukun Islam yang mencakup lima kewajiban dasar seorang muslim, yaitu Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Bagaimana halnya dengan bab muamalah, muasyarah dan akhlaq?

Pada tulisan ini hanya akan disorot masalah hukum waris Islam yang sering disebut hukum faraidh. Hukum waris dapat dimasukkan dalam bab muamalah. Secara umum, bab muamalah berkaitan dengan pengaturan transaksi atau perpindahan harta benda di antara sesama muslim. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau yang berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.

Pada dasarnya, kalau dianalisis lebih lanjut, hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu Al Qur’an pada Surat An-Nisa’: 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 33, 176, Surat Al-Anfal: 75, dan beberapa (tidak banyak) hadits Nabi SAW. Secara tegas, Allah memberikan janji surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui Surat An-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui Surat An-Nisa’: 14. Adapun Surat An-Nisa’: 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing-masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.

Dari ayat-ayat tentang waris, dapat dipahami bahwa peralihan harta dari yang meninggal (pewaris) kepada yang hidup (ahli waris) berikut jumlah bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas kehendak Allah melalui Al Qur’an. Ini mengandung arti bahwa terjadinya waris mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat memaksa. Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal dua sifat hukum, yaitu hukum yang ‘memaksa’ dan hukum yang ‘mengatur’. Hukum disebut bersifat ‘memaksa’ apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, yaitu, perintah atau larangan hukum tersebut -tidak bisa tidak- harus ditaati. Seandainya tidak ditaati, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi atau hukuman tertentu.

Dalam pengertian hukum yang bersifat ‘mengatur’, maka hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain sesuai dengan kesepakatan atau musyawarah di antara mereka. Dalam hal ini, kalau pun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum karena sifatnya yang (sekedar) mengatur itu.Secara hukum, ternyata tidak ada satu ketentuan pun (nash), baik dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi SAW, yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan hukum waris Islam itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya, Allah telah menyatakan kewajibannya seperti dapat dilihat pada ayat-ayat waris yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat-ayat waris ini jelas menunjukkan kekuatan atau kewajibannya. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud, “Bagilah harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al Qur’an).”
Sebenarnya, aturan-aturan berkenaan dengan pembagian warisan menurut syariat Islam secara keseluruhan begitu sederhana dan mudah dipahami. Sayangnya, hukum waris ini terlanjur diasumsikan sebagai sesuatu yang sulit dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu. Memang, sesuai dengan salah satu hadits Nabi SAW, ilmu faraidh telah dinyatakan sebagai ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umat ini pada akhir zaman nanti. Hal ini telah terbukti karena begitu langkanya orang yang mau mendalami ilmu ini. Padahal, Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh. Jadi, dapat dipahami bahwa melaksanakan hukum waris (dalam arti melaksanakan pembagian warisan menurut syariat Islam) sama wajibnya dengan mempelajari dan mengajarkan hukum waris itu sendiri.

Dari uraian di depan, dikaitkan dengan sifat hukum yang telah dikemukakan, maka hukum waris Islam yang telah diatur oleh Allah SWT merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Karena itu, wajib bagi setiap pribadi muslim untuk mengamalkannya. Bahkan, dengan mengacu kepada sumber hukum asalnya, pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum waris Islam dikenakan sanksi langsung oleh Allah SWT -meskipun bukan di dunia ini- di akhirat kelak menurut Surat An-Nisa’: 14. Setelah memperbincangkan dan memahami kekuatan hukum waris Islam, selayaknya tidak ada alasan lagi bagi setiap muslim untuk mengambil hukum waris lain selain hukum waris Islam. Ketaatan seorang muslim dalam melaksanakan hukum waris Islam, seperti halnya hukum syariat lainnya, merupakan tolok ukur dari kadar keimanannya kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Hendaknya setiap pribadi muslim menyadari bahwa mengambil hukum selain hukum yang berasal dari Allah SWT dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga macam sebutan ini: kafir, zhalim, atau fasik (lihat Surat Al-Maidah: 44, 45, 47). Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak tergolong hamba Allah yang mendapat tiga macam sebutan ini.

Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Meskipun oleh sebagian pihak KHI ini tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan (karena memang KHI belum berwujud undang-undang, sehingga statusnya masih di bawah undang-undang), para pelaksana di peradilan agama telah sepakat menjadikannya sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara di pengadilan.

Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
Di masa mendatang, diharapkan hukum kewarisan Islam diterapkan dengan menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang jelas. Selanjutnya di dalam rumusan undang-undang ini hendaknya dihindarkan adanya opsi (pilihan) untuk menggunakan hukum waris di luar hukum waris Islam bagi umat Islam. Yang penting, pelanggaran terhadap undang-undang ini hendaknya diberikan sanksi yang sesuai. Dengan cara ini, maka upaya mencari kepastian hukum dapat ditegakkan. Insyaallah.

Oleh Achmad Yani, ST., M. Kom
Lihat Sumber.


Artikel Terkait: