24.1.11

Masjid Kudus.

Masjid Kudus, Simbol Toleransi Sejati


Memasuki makam yang satu ini, peziarah akan melihat sebuah bangunan megah mirip candi yang tersusun dari bata merah. Bangunan bergaya Hindu itu bukanlah candi, melainkan masjid. Bagian atasnya seperti terpenggal lalu diberi atap bersusun dengan kubah masjid bergaya India. Di sekitarnya, ada peninggalan lain yang merupakan ciri khas kerajaan besar di Jawa (Majapahit) pada masa lalu, yakni dua gapura kembar. Gerbang masuk tanpa pintu ini terletak di ujung timur bagian luar kompleks masjid. Ada juga pagar tembok yang mengelilingi kompleks dan sebuah gapura lagi untuk memasuki makam.



Masjid Sunan Kudus–orang lebih mengenalnya dengan dengan sebutan Menara Kudus–dibangun pada sekitar pertengahan abad ke-16, sekitar 956 Hijriah atau 1549 Masehi dengan nama Masjid Al-Aqsa. Tempat itu dinamakan sama dengan salah satu masjid di Palestina karena sang pedndirinya yang tak lain adalah Ja’far Sodik atau Sunan Kudus pernah membwa kenangan batu bata merah dari Baitul Maqdis. Kompleks ini merupakan bukti nyata kehadiran utusan siar Islam di Jawa Tengah bagian utara yang masuk melalui pendekatan budaya. Buktinya, dalam masjid itu dibangun delapan pancuran untuk wudu dengan arca di atasnya. Sebuah sumber menyebutkan, cara itu dilakukan untuk mengadaptasi keyakinan Buddha akan “delapan jalan kebenaran” atau asta sanghika marga.

Sebagai bukti toleransi lainnya, Sunan Kudus melarang para pengikutnya menyembelih sapi. Dan hingga kini warga Kudus masih menghargai nilai-nilai yang ditanamkan sang panutan. Sebagai gantinya, mereka mengkonsumsi daging kerbau. Hal itu dikarenakan sapi merupakan hewan yang dianggap suci bagi agama Hindu. Menurut sebuah laman yang ditulis Bambang Setia Budi, bangunan menara Kudus mempunyai ketinggian 18 meter, berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar. Seluruh bangunan menggambarkan budaya khas Jawa-Hindu.

Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memang dengan bijak para penyebar Islam menghargai tradisi leluhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al Quran. Sehingga, antara agama dan budaya setempat saling menopang dan saling mengisi. “Agama tak berkembang tanpa wadah budaya dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama,” kata Komaruddin. Keunikan bentuk masjid ini memang sulit dilupakan. Pasalnya, bentuk ini tak ada yang menyamai di seluruh dunia. Bentuk arsitekturalnya khas dan mempesona.

Simak sumbernya di belajarsejarah.com


Artikel Terkait: