24.2.11

Agar Anak Bertaqwa.

Rasululloh saw dan para Sahabat adalah orang-orang yang paling bertakwa. Hal ini tampak pada besarnya rasa takut mereka pada azab Alloh. Padahal mereka telah dijamin masuk ke dalam surga-Nya. Demikian pula para tabiin dan generasi sesudah mereka. Kebanyakan mereka adalah generasi yang mengisi malam-malamnya dengan dzikir, tilawah Qur’an dan qiyamul lail; siangnya sering diisi dengan shaum sembari tetap mencari nafkah, berdakwah bahkan berjihad di jalan Alloh.
Rasul saw pernah tidur gelisah sepanjang malam, hanya karena siangnya memakan sebutir kurma di rumahnya yang dikhawatirkan merupakan kiriman dari orang untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Abu Bakar ra pernah memuntahkan kembali makanan yang telah dimakannya, setelah ia tahu bahwa makanan itu berasal dari pemberian seorang paranormal. Abu Thalhah ra pernah mewakafkan kebunnya hanya karena ia pernah mengingatnya ketika shalat. Imam Ghazali konon pernah menangis hanya karena ketiduran hingga ketinggalan satu kali menunaikan shalat malam. Rasa takut akan azab yang kuat akan mendorong untuk bergegas menjauhinya. Dan satu-satunya jalan untuk menjauhi azab-Nya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Alloh SWT.
Permasalahannya, tidak mudah mendidik anak di zaman globalisasi ini. Apalagi yang kita inginkan anak bertakwa sebagaimana para Sahabat dan penerusnya. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tentu tidak cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan anak juga tidak mungkin. Membiarkan anak lepas bergaul cukup berisiko. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar anak-anak bertakwa ?

Anak makin ‘Kritis’
Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak yang dulu. Dulu anak cenderung takut dan segan terhadap orang tua dan guru. Sekarang anak lebih berani membantah dan susah diatur. Makin pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam beragumentasi bisa jadi karena kecerdasan atau rasa ingintahunya yang besar.
Dalam persoalan ini, ibu haruslah memperhatikan dua hal yaitu:
Pertama, memberikan pengetahuan yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini ibu dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, biasanya anak tak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, ”Pokoknya kalau kamu tidak sholat dosa”. ”Ibu nggak akan memberikan kamu hadiah kalau kamu nggak sholat!”. Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa ia harus sholat. Lalu, terus menerus anak diajak sholat berjamaah di rumah dan juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang muslim lain yang juga melakukan sholat.
Kedua, jadilah ibu teladan pertama bagi anak. Tak jarang ibu memerintahkan anak untuk mengaji. Di sisi lain, ibu jarang terlihat oleh anak sedang mengaji. Yang terlihat oleh anak justru ibu lebih banyak menonton TV. Kondisi ini tentu akan membingungkan anak, dan berakibat munculnya kecenderungan anak untuk membantah orang tua.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada pengetahuan yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman berpikir anak. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar. Bukan menjadi anak yang terpengaruh oleh tren pergaulan.

Tanamkan Aqidah Yang Kokoh
Orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menanamkan aqidah pada anak. Sebagaimana sabda Rosululloh saw: ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Bapak dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Al-Bukhari). Beberapa hal yang mestinya dilakukan untuk menanamkan aqidah adalah :
1. Kenalkan siapa Alloh dan tanamkan cinta pada-Nya.
Sejak dini anak harus diajak menalar bahwa dirinya, orang tuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia dan seluruh isinya diciptakan oleh Alloh. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Alloh. Lebih jauh, anak dikenalkan asma dan sifat-sifat Alloh. Dengan begitu anak memahami betapa Alloh Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Kaya, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, Insya Alloh akan tumbuh kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Alloh dan bergantung hanya pada-Nya. Lebih dari itu, akan tumbuh benih kecintaan anak pada Alloh. Cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Alloh.
2. Ajak anak untuk mengidolakan pribadi Rosululloh saw. Tanamkan pemahaman bahwa beliau adalah manusia pilihan dan Pembawa wahyu-Nya. Begitu pula sifat-sifat dan perikehidupan serta perjuangan dan pengorbanan Rosululloh, sebagai suri teladan bagi manusia. Pemahaman ini akan menjadikan anak memahami kemuliaan Rosululloh dan senantiasa berusaha meneladaninya.
3. Ajak anak terbiasa menghafal, membaca dan memahami al-Qur’an. Rosululloh saw pernah bersabda (yang artinya): “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara; mencintai nabimu; mencintai ahlul baitnya; dan membaca al-Qur’an karena orang-orang yang memelihara al-Qur’an itu berada dalam lindungan singgasana Alloh pada hari ketika tidak ada perlindungan selain daripada perlindungan-Nya; mereka beserta para nabi dan orang-orang yang suci”. (HR. Ath-Thabrani) Menghafal al-Qur’an bisa dimulai sejak anak lancar berbicara.
4. Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum baligh. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk melakukan hal-hal yang dicintai Alloh. Misalnya, dengan mengajak sholat, berdoa, berpuasa, dsb. Tak kalah penting adalah menanamkan akhlak karimah, seperti berbakti pada orang tua, sayang pada sesama, jujur, berani karena benar, sabar dan sebagainya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Alloh, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
5. Siapkan penghargaan dan sanksi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya. Memberikan pujian terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat besar bagi dirinya. Jiwanya akan menjadi riang dan senang serta akan mendorong dia melakukan kebaikan. Selama pujian tersebut pada waktu dan tempat yang tepat, serta wajar dan tidak berlebihan. Islam tidak melarang memberikan hukuman fisik kepada anak ketika teguran halus tidak membuahkan hasil. Dalam beberapa riwayat dijelaskan hukuman dalam bentuk fisik ketika usia anak sudah mencapai 10 tahun. Yang wajib dipahami bahwa pukulan yang diberikan pada anak bukan pukulan yang membahayakan. Sebab fungsi pukulan disini untuk mendidik bukan untuk menyiksa.

Mempersiapkan Lingkungan
Penanaman aqidah pada anak belumlah cukup untuk mengantarkannya menjadi manusia yang bertakwa. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia tinggal dan beraktivitas. Di sinilah keluarga dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Karenanya, ibu harus memperhatikan hal berikut :
1. Kerjasama ayah dan ibu.
Anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum syara’ jika ia melihat contoh real pada orang tuanya. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orang tua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar sholat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, ”Kata ibu boleh nggak sholat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”.
2. Lingkungan masyarakat.
Tarik menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah kondisi masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus dilakukan. Kita dapat mulai dengan meramaikan mushalla, masjid bahkan balai RT atau RW di lingkungan kita dengan kajian-kajian Islam, dimana ibu dan anak bisa berperan aktif.
Wallohu A’lam bish-Showab.

Dikutip dari sakinahonline.com


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar