4.9.10

IKTIKAF

Misi utama Rasulullah Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT ke dunia ini untuk memperbaiki perilaku manusia. Sadar akan hal itu, beliau selalu menjaga kesucian diri dari segala macam keadaan yang memungkinkannya keluar dari kehendak Allah. Metode yang dipergunakan, di antaranya adalah ihtisab.

Apa itu ihtisab? Ihtisab atau self-examination adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk selalu meningkatkan kualitas dan keunggulan diri dengan cara selalu mempertanyakan dirinya siapa dan mau ke mana? Sebab, bukankah seseorang lebih mudah berperilaku dan bertindak buruk daripada selalu berbuat baik. Hal itu pula yang menjadi indikasi betapa kuatnya daya tarik dan godaan ketidakbaikan terhadap diri seseorang. Terutama, harta, kekuasaan, keturunan, dan istri.


Di sinilah iman dan takwa dalam Islam memainkan peranan penting untuk mengawal, menjaga, dan terus mengarahkan seseorang agar diri dan perilaku kehidupannya selama di dunia selalu sesuai kehendak-Nya. Seseorang baru menyesal setelah ia melakukan ketidakbaikan dalam kehidupannya.

Kaitannya upaya perbaikan diri dengan ibadah shaum Ramadhan ada pada kegiatan iktikaf. Iktikaf artinya berdiam diri (di dalam masjid) dengan cara memperbanyak mengingat Allah SWT, mengingat-ingat perbuatan yang tidak baik atau yang kita sebut dosa, selanjutnya memotivasi diri untuk tidak mengulanginya lagi melalui upaya-upaya perbaikan diri ke depan.

Apa yang banyak dilakukan oleh nabi Muhammad SAW tatkala menjelang akhir Ramdhan? Istrinya, 'Aisyah binti Abu Bakar, pernah menginformasikan bahwa "Adalah Rasulullah SAW bersungguh-sungguh di puluhan yang akhir, apa yang tidak dikerjakannya pada puluhan yang lainnya." Ibadah beliau adalah: menghidupkan malamnya; membangunkan keluarganya (istrinya) untuk shalat malam-malam yang sepuluh; mengencangkan celana; melambatkan berbuka, hingga bersahur; mandi di antara Maghrib dan Isya; mencari Alqadr; iktikaf di masjid.

Iktikaf di masjid dapat dijadikan sebagai media yang sangat efektif untuk merenungi diri, perilaku, serta situasi sosial melalui cara-cara berkaca diri, berusaha untuk membeningkan jiwa dengan cara mengingat Allah dengan segala sifat-Nya Yang Maha, dan tanpa melihat atau menyalahkan orang lain. Hakikat untuk apa sih sebenarnya kita dihidupkan, harus seperti apa hidup ini, dan bagaimana diri ini setelah meninggalkan dunia fana ini? Boleh jadi, ini merupakan bagian meditasi ritual keagamaan yang umum, tetapi berbeda dengan ajaran Islam.

Dari aspek legalitas syariah Islam, Imam Abu Hanifah membagi iktikaf menjadi tiga macam: Pertama, wajib. Artinya, iktikaf menjadi wajib hukumnya untuk dilakukan oleh seseorang karena orang itu bernazar. Nazarnya melalui pernyataan baik yang diungkapkan atau yang diniatkan dalam hati, misalnya "Manakala saya mendapatkan pekerjaan itu, maka saya akan iktikaf sekian hari." Ataukah ungkapan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, tetapi mungkin pernah berkata "Saya akan mewajibkan diri saya untuk beriktikaf sekian hari."

Kedua, sunah. Iktikaf sunah inilah yang banyak dipraktikkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dengan cara beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dan ketiga, nafil. Artinya, iktikaf yang dilakukan oleh seseorang tanpa dibatasi oleh waktu dan hari. Manakala ada orang yang berniat itikaf, orang tersebut melakukannya, bahkan jika berniat iktikaf seumur hidupnya pun dibolehkan.

Berapa lama waktu yang dianjurkan untuk iktikaf? Meskipun para ahli hukum Islam memiliki beberapa pendapat mengenai waktu minimal untuk beriktikaf, tetapi mereka cenderung sepakat minimal sehari. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah.

Dari segi tata cara pelaksanaannya, seseorang keluar dari rumah membawa perbekalan seadanya yang disesuaikan dengan berapa lama orang tersebut beriktikaf di masjid, kemudian memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan. Adapun manfaat atau nilai pahala beriktikaf di masjid sangat banyak sehingga membuat Rasulullah Muhammad SAW menjaga sepuluh hari terakhir itu jangan sampai berlalu begitu saja.

Imam Ibn Qayyim mengatakan bahwa tujuan iktikaf di masjid adalah untuk menghubungkan hati seorang hamba kepada Tuhan-Nya, Allah SWT, dengan cara mengalihkan hati, pikiran, dan perasaannya dari segala sesuatu selain Allah.

Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bila ada seseorang yang datang ke rumah Allah (masjid, mushala, surau, atau langgar, apalagi dan terutama sekali di Masjid Al-Haram [Baitullah] di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di Palestina) meminta sesuatu, maka dapat dipastikan apakah Allah Yang Maha Rahman dan Rahim akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat seperti itu? Tidak! "Sesungguhnya Aku sangat dekat. Aku mengabulkan permohonan semua permohonannya kepada-Ku." (QS Al-Baqarah 2 : 185).

Dan, itulah yang dialami dan diperoleh oleh Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abd al-Muthalib, beliau ditetapkan oleh Yang Mahasuci Sang Penguasa Alam ini. Muhammad ditetapkan menjadi rasul pada bulan Ramadhan dan sebagai penutup kenabian Allah SWT di planet bumi ini untuk membawa umat manusia ke arah yang bersinar cemerlang. 

Bagi kita umat yang setia dan meneladani Nabi Muhammad sebagai orang yang telah mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupannya, tidak ada pilihan kecuali meneladani dan melaksanakan apa-apa yang telah pernah dilaksanakannya. Di antaranya adalah melakukan kegiatan iktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan yang suci, agar mendapatkan kehidupan yang berkah dan memperoleh pengampunan Allah.

Momentum ini jangan dilewatkan begitu saja karena ajaran dan nilai-nilainya tetap relevan dengan keadaan kita, di mana kita lihat dan baca mengenai keadaan pribadi dan masyarakat kita, betapa banyak di antara kita yang emosinya masih labil, masih sering menyalahkan orang lain, masih gemar menyembunyikan, bahkan mengambil hak-hak orang lain, dan sejenisnya.

Ketika kita meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW, bukanlah berarti kita mengultuskan beliau. Islam adalah ajaran yang tidak memperkenalkan kultus individu, bahkan sebaliknya, Islam mempunyai ajaran yang memberi ruang dan kesempatan kepada seluruh penganutnya untuk berlomba menunjukkan dan mengerjakan berbagai kegiatan yang bernilai kebaikan, baik yang berguna untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Melalui kegiatan iktikaf, marilah kita niatkan semoga menjadikan diri dan kehidupan kita menjadi sebuah investasi yang bernilai tinggi bagi dunia dan akhirat kita dan orang lain. Semoga!

Prof Dr H Abdul Majid, MA
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
Dikutip dari Republika

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar