1.9.10

Presiden Juga Manusia

"Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (An-Nisa. Surat ke-4 ayat 87).

Membaca ayat Alquran di atas, terhenyak nuraniku. Tepatkah sikap dan tutur kataku selama ini? Pantaskah arogansiku yang tetap saja mengatakan bahwa apa yang terucap dari mulutku selama ini adalah paling benar? Di sisi keping hati yang lain sering beranggapan bahwa keberanian kita berbicara telah didasari oleh kemampuan tinggi olah pikir dan akal. Kemampuan yang kita bangun dengan tujuan agar tidak terlihat bodoh di mata orang lain. Dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan ini, kita memang perlu memiliki keberanian. Keberanian sebagai selimut tebal untuk membangun rasa percaya diri.



Hanya dengan kepercayaan dan karakter itulah, manusia mampu menyesuaikan dirinya di segala situasi kehidupan, survive. Namun, benarkah seseorang akan mampu mempertahankan hidupnya tanpa orang lain? Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan isinya. Tuhan menciptakan manusia-manusia. Tuhan menciptakan manusia-manusia untuk hidup berdampingan saling menjaga dan bertanggung jawab bersama memelihara dunia. Hanya nafsu dan ketamakan duniawilah yang meracuni kesadaran manusia, dan menjadikannya bermusuhan. Kita menjadi khilaf, nurani kita menjadi buta dan lupa bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah. Tidak ada salah satu dari kita yang sempurna, dan untuk itulah ada sesama. Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Sejatinya, itulah makna membangun masa depan yang harus menjadi tonggak keyakinan bangsa ini, Indonesia. Bangsa ini akan mampu dan berhasil meraih masa depan yang lebih baik, hanya bila bangsa ini mau bersama bahu-membahu bekerja untuk mencapainya. Dengan ketidaksempurnaan yang telah melekat, tidak mungkin bangsa ini bisa berhasil maju hanya oleh orang-seorang, bahkan oleh seorang pemimpin sehebat apa pun.

Presiden juga manusia, yang selalu memiliki ketidaksempurnaan. Untuk itulah, ada wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, tentara, polisi, pengamat, cendekiawan, rohaniawan, LSM, kritikus, termasuk oleh karenanyalah ada kita, rakyat. Semuanya harus menjadi sebuah kaum. Kaum yang saling memberi manfaat inilah yang bisa mengubah Indonesia menjadi lebih gemilang masa depannya. Bukan kaum yang saling cerca, saling caci-maki, saling menyalahkan, bahkan terpuruk dalam kelam baku hantam. Firman Allah dengan bijak menerangkan, "Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." ( Al-Hujurat. Surat ke-49 ayat 12).

Firman di atas sepantasnyalah menjadi titik awal kita mengubah saling mencerca menjadi saling mengingatkan, makian menjadi usulan, prasangka buruk menjadi kritik membangun. Dalam sebuah kaum, orang-seorang selalu memiliki peran penting. Hanya dengan menyadari, memahami, dan menggunakan peran tersebut sebaik dan setepat mungkin, anggota kaum itu menjadi berarti. Sebaliknya, orang tersebut menjadi tak berarti apa-apa bagi kaumnya bila tak memahami perannya ataupun bahkan ingin mengambil alih peran orang lain. Walaupun sebuah kaum harus ada pemimpinnya, kaum tersebut tidak akan mencapai apa-apa bila masyarakatnya tidak taat terhadap perannya masing-masing. Pemimpin sebuah kaum tidak akan mampu membawa kaumnya berhasil maju, tanpa ditopang peran masyarakatnya. Selain itu, di dunia yang semakin demokratis, seangkuh apa pun seseorang yang ingin mendapatkan kekuasaan maka keinginan itu akan hanya menjadi ilusi ketika mayoritas masyarakatnya tidak menghendakinya. Bangsa Indonesia telah memiliki modal kebenaran untuk itu. Pemimpin bangsanya (kaum) dikehendaki oleh mayoritas masyarakatnya secara demokratis. Tanah airnya subur sarat dengan sumber kehidupan. Namun, penentu loh jinawi-nya bangsa ini bukan hanya bergantung di pundak Presiden yang hanya seorang manusia, melainkan di pundak seluruh bangsa (kaum) Indonesia. Dengan kesadaran itu, kita bisa mengatakan dengan tegar kepada Tuhan, kami mampu dan siap mengubah bangsa kami sendiri. Dan, kita pasti akan berhasil, karena itulah janji Tuhan kepada manusia.

Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang tepat untuk kita berkaca diri. Bulan yang harus diisi oleh kesejukan hati, memaknai hidup dengan semakin memahami isi kitab suci. Tepatlah pula bila ucap Presiden SBY dalam peringatan Nuzulul Quran, sama-sama kita resapi, "Di bulan Ramadhan ini, dan sesungguhnya juga untuk seterusnya, kita harus pandai membasuh jiwa dan menjaga kebersihan hati kita."

Sebagaimana diingatkan oleh Yusuf bin Asbath, sebagai seorang Muslim hendaknya kita rajin untuk mawas diri atau introspeksi, dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Imam Al-Ghazali juga mengingatkan, agar akhlak kita tetap terjaga dan semakin tinggi, kita diharapkan tetap pandai bersyukur, sabar, tenang, dan bersifat penyayang, serta tidak suka mencela, memfitnah, mengadu domba, dan bermanis bibir dan wajah, tetapi dengki di hati."    

Bermanis bibir dan wajah, tetapi dengki di hati. Serigala berbulu domba. Tersesatlah manusia bila perumpamaan di atas melekat dalam dirinya. Allah Maha Pengasih lagi Penyayang dan Maha Pemberi Jalan. Firman di bawah ini membuktikannya. 

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat." ( Al-Ma'arij. Surat ke-70 ayat 19-22). 

"Barangsiapa yang datang dengan membawa kebaikan, maka baginya pahala yang lebih baik daripada kebaikan itu; dan barangsiapa yang datang dengan membawa kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan seimbang dengan apa yang dahulu mereka kerjakan." (Al-Qasas. Surat ke-28 ayat 84 ).

Akhir Ramadhan tidak lama lagi. Masih ada waktu bagi kita untuk mengubah diri, menjadi kaum yang beruntung, bukan kaum yang merugi. Sehingga di hari fitri nanti, bangsa ini benar-benar siap menjawab, "Tuhan, kaum kami siap berubah."

Sumber : Republika (Heru Lelono)

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar