6.1.12

Menegur Anak


Cara Menegur Anak.

1. Janganlah terlalu banyak mencelanya pada setiap waktu, sebab ini akan menyebabkan, ‘telinga si anak menjadi tebal’
2. Jangan sekali-kali memalukan anak didepan umum.
3. Jika ia mengulangi lagi perbuatan salah, sebaiknya ditegur secara diam-diam. Dan menyatakan, bahawa perkara yang dibuat itu tidak baik.
4. Jangan memaki atau mencela karena akan sangat menjatuhkan harga diri anak dan berakibat buruk bagi perkembangannya.
5. Teguran orang tua cukup satu kali saja dan mimik ortu tidak senang, maka anak sudah bisa memahami perasaan ortunya.
6. Menegur dengan tidak berteriak dan bernada keras.
“Ical, berhenti naik meja, sekarang! Mama nggak suka Ical nakal!”
Faisal, bocah berusia 5 tahun itu tak menggubris teguran mamanya barang sedikitpun. Ia terus saja melompati meja dan kursi makan serta berjingkrak-jingkrak di atasnya. Mamanya nampak frustrasi.
“Dasar anak nakal! Ical nggak punya kuping ya?! Nggak bisa dengar mama, ya?!”
Orangtua sering kali tidak sadar bahwa mereka lebih sering menggunakan ancaman, kata-kata kasar, dan julukan yang buruk bagi anak-anaknya yang berulah. Padahal, cara-cara seperti itu justru akan membuat anak semakin menunjukkan ulahnya yang buruk, bukannya semakin baik.
Bagaimana seni menegur anak?

Sampaikan dengan penuh kasih.
Ini kuncinya. Memasang wajah sangar justru akan membuat anak semakin senang, karena ia merasa berhasil menarik perhatian orangtuanya. Coba pasang wajah selembut mungkin. Lalu, tegur dengan halus; “Anak sholeh, kok naik meja? Ical kan, anak mama yang paling baik, jadi, tidak naik-naik meja, ya?”. Ungkapan penuh kasih, serta nilai “anak baik” akan membuat anak merasa dihargai, sehingga ia berusaha membuktikan penghargaan itu sebagai anak yang benar-benar baik.
Tidak menyebutkan kesalahannya di depan umum.
Ada sebuah kasus terjadi: seorang anak kelas 3 SD sangat rajin mengaji dan ia paling senang adzan di masjid. Ia sering menjadi orang pertama yang datang ke masjid dan mengumandangkan adzan. Tapi, kemudian seorang sesepuh desa menegur dan melarangnya untuk adzan-di depan umum, dengan alasan ia belum disunat (padahal tidak ada dalil yang melarang). Sejak peneguran itu, si anak sama sekali tidak mau ke masjid. Alasannya malu, dan sejak itu kepercayaan dirinya menjadi sangat rendah.

Gunakan kalimat positif.
Ketika anak terbiasa mendengarkan komentar-komentar bernada positif dari orangtuanya, ia juga akan belajar untuk menghargai orang lain. Karena ia merasa dihargai, meski ia salah, orangtuanya tetap memberinya kepercayaan bahwa ia anak yang baik. Maka ia akan mengikuti prasangka tersebut.

Jangan ungkit-ungkit kesalahannya yang telah lalu.
Anak mana yang senang jika kesalahannya yang telah lalu diungkit kembali? Tentu tidak ada yang senang. Anda bisa menggunakan kata “jika” dan “maka” untuk menegurnya. Misalnya,”jika kamu naik meja, maka meja akan patah dan kamu terjatuh. Ibu akan sangat sedih melihatmu terluka”. Tidak perlu ingatkan dengan; “dulu kamu bandel, kamu naik-naik meja dan mejanya patah, lalu kamu menangis karena jatuh”. Bandingkan 2 statement tersebut. Mana yang lebih nyaman didengar?

Sumber Pondok Ibu



Artikel Terkait: